Mukaddimah: Sebuah Dukungan Rabbani
Surat al-Qalam
termasuk surat yang pertama-tama diturunkan Allah di Makkah; menurut
sebagian ahli tafsir diturunkan setelah surat al-’Alaq.
Saat
Nabi Muhammad saw berdakwah, respon yang beliau terima dari kaumnya
sangat mengecewakan. Bahkan lebih merupakan terror-teror psikis dan tak
jarang juga terror fisik beliau terima, juga orang-orang yang mengikuti
dakwah beliau.
Salah
satu teror psikis yang beliau terima adalah stempel ”gila” yang
diberikan kepada beliau. Padahal sebelum itu kaumnya sendiri yang
menyematkan julukan ”al-Amin (yang terpercaya)” kepada beliau. Kini semua berbalik. Beliau dicap sebagai orang yang gila harta dan jabatan. Bahkan sebagian benar-benar menuduh gila dalam artian yang sebenarnya.
Dan Allah lah yang kemudian menjawab segala tuduhan di atas. “Dan sesunguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung”.(QS. 68: 4)
Dukungan
spiritual ini diberikan saat kaumnya menganggapnya gila ketika beliau
menyampaikan risalah-Nya. Bahwa Allah juga tak henti-hentinya memberikan
dukungan serta menjanjikan pahala yang tak putus-putus atas kesabaran
yang ekstra dalam menghadapi kaumnya.
Sejenak kita tilik gaya bahasa yang dipakai al-Qur’an. ”la‘alâ khuluqin ’azhîm” pada ayat keempat, digunakan kata ”‘alâ” (di atas) bukan dengan kata ”fî” (dalam).
Hal
ini mengindikasikan bahwa Nabi Muhammad saw memang berada di atas
standar akhlak dan budi pekerti manusia pada umumnya. Ketika beliau
mendakwahi para pemuka kaumnya, Quraisy; saat itu Abdullah bin Ummi
Maktum ra. -yang buta- masuk ke tempat tersebut. Seketika raut muka
Rasulullah berubah sedikit muram, berubah masam. Beliau tak mengatakan
apa-apa, memarahi, menghardik atau menegurnya. Hanya saja air wajah
beliau menunjukkan agak terganggu dengan kehadiran Abdullah tersebut.
Seketika Allah menegur beliau “Dia
(Muhammad) bermuka masam dan berpaling, karena telah datang seorang
buta kepadanya. Tahukah kamu, barangkali ia ingin membersihkan dirinya
(dari dosa). Atau dia (ingin) mendapatkan pengajaran, lalu pengajaran
itu memberi manfaat kepadanya?”. (QS. `Abasa: 1-4)
Barangkali
bagi orang biasa, hanya bermuka masam seperti di atas mungkin belum
terlalu dianggap kurang baik. Namun, kebersihan diri beliau serta
pengawasan Allah lah yang menjadikan standar akhlak beliau memang
benar-benar mulia. Di
atas standar akhlak manusia biasa. Di atas akhlak orang yang paling
mulia sekalipun, yang pada waktu itu ada dalam suku Quraisy atau
suku-suku lain yang ada disekitarnya. Bahkan paling mulia di antara
sekian makhluk Allah yang pernah ada dan yang akan ada.
Karena
itu, tak ada alasan bagi Nabi Muhammad saw untuk larut dalam kesedihan
memikirkan cemoohan dan berbagai teror dari kaumnya. Dan yang terbaik
adalah meneruskan dakwah ini kepada kaumnya. ”Maka kelak kamu akan melihat dan mereka (orang-orang kafir) pun akan melihat. Siapa di antara kamu yang gila. Sesungguhnya
Tuhanmu, Dia-lah yang paling mengetahui siapa yang sesat dari
jalan-Nya; dan Dia-lah yang paling mengetahui orang-orang yang mendapat
petunjuk”. (QS. 68: 5-7). Karena
terkadang orang gila tak merasa bahwa dirinya adalah orang gila. Dan
ketika mereka sadar, keterlambatan itu sudah tiada berguna lagi untuk
menghindarkan mereka dari siksaan Allah yang Maha Pedih.
Para Pendusta dan Pencela Nabi Muhammad saw
”Maka
janganlah kamu ikuti orang-orang yang mendustakan (ayat-ayat Allah).
Maka mereka menginginkan supaya kamu bersikap lunak lalu mereka bersikap
lunak (pula kepadamu). Dan janganlah kamu ikuti setiap orang yang
banyak bersumpah lagi hina. Yang banyak mencela, yang kian ke mari
menghambur fitnah. Yang banyak menghalangi perbuatan baik, yang melampaui batas lagi banyak dosa. Yang
kaku kasar, selain dari itu, yang terkenal kejahatannya. Karena dia
mempunyai (banyak) harta dan anak. Apabila dibacakan kepadanya ayat-ayat
Kam, ia berkata: “(Ini adalah) dongeng-dongengan orang-orang
terdahulu”. Kelak akan kami beri tanda dia di belalai(nya)”. (QS. 68: 8-16)
Ada
perbedaan ahli tafsir, siapa yang dimaksud Allah dalam ayat ini. Karena
ayat 10-16 diturunkan untuk menyindir seseorang. Ibnu Hajar al-Asqalani
menyebutkan beberapa riwayat (). Sebagian mufassirin berpendapat ayat-ayat ini diturunkan Allah untuk menyindir al-Walid bin Mughiroh (), sebagian lagi berpendapat: al-Akhnas bin Syuraiq, atau al-Aswad bin Abdi Yaghuts.
Allah
melarang mengikuti mereka (orang-orang kafir Quraisy). Orang-orang
kafir dan mereka yang mencaci Rasulullah saw. Larangan ini semula
diperuntukkan kepada Nabi Muhammad saw, namun ditujukan pula kepada
kita, sebagai umat yang mengikuti ajaran yang beliau bawa.
Sifat pertama yang ditunjukkan Allah dalam ayat ini adalah “mendustakan”. Mendustakan
ayat-ayat-Nya, para utusannya, meskipun sebelumnya mereka dikenal
kaumnya sebagai orang terpercaya lagi baik budinya. Ciri-ciri inilah
yang memasukkan kaum Ad dan Tsamud serta Ashabu Madyan, dan Rass ke
dalam kategori orang-orang yang kafir. Pembangkang serta memusuhi
kekasih Allah. Dan pada gilirannya Allah menghancurkan mereka dengan
tentara-tentara Allah. Angin topan yang menggulung kesombongan mereka.
Menghabiskan kedustaan yang mereka lakukan kepada Allah dan para
Rasul-nya
Mereka
ingin dihargai sementara mereka tiada mau menghargai orang lain. Ingin
diperlakukan dengan lunak dan lemah lembut, sementara mereka tidaklah
demikian.
Diantara
sifat al-Walid yang menonjol adalah banyak bersumpah. Namun sering ia
langgar sendiri. Sungguh hina orang-orang yang mempermainkan sumpahnya.
Selain itu suka mencela dan mencaci, menebar fitnah, menjadi provokator
dan menghalangi kebaikan. Kasar dan sudah terlanjur dikenal keculasan
dan kejahatannya. Padahal ia memiliki banyak anak dan harta. Tapi sekali-kali ia tak pernah insyaf dan bertaubat kepada Allah.
Di
akhir peringatan ini Allah memberitahukan lagi salah satu ciri mereka.
Yaitu mereka akan mengatakan kepada setiap orang yang mengajak mereka
kepada kebaikan. “Itu hanyalah merupakan cerita-cerita orang terdahulu”. Mungkin
kalau bahasa kita, setelah kita memperingatkan atau mengajak pada
sesuatu yang ma`ruf. Mereka akan mengangganya ”lagu lama” yang disamakan
dengan dongeng-dongeng serta cerita rakyat yang penuh mitos.
Mereka sudah terlebih dahulu mengklaim sesuatu yang disampaikan oleh Rasulullah.Padahal mereka tak mengetahui apa pun tentangnya. Bagaimana mungkin mereka akan menerimanya.
Allah akan menghinakannya juga kuffar Quraisy itu dengan memberi tanda khusus di hidung mereka ().
Sebagai tanda kebohongan dan kedustaan mereka. Menghinakan mereka
sebagaimana mereka menghinakan ayat-ayat Allah dan para Rasul-Nya.
Al-Qur`an menggambarkannya dengan kata-kata “belalai”.
Kata-belalai sebagaimana lazimnya tak dipakai kecuali untuk binatang.
Bukan untuk manusia. Tentunya hal tersebut dimaksudkan untuk semakin
menghinakan serta menurunkan derajatnya sebagai manusia. Mereka sama
dengan binatang. Bahkan lebih rendah darinya. Karena mereka mempunyai
akal. Namun tak mereka gunakan untuk menerima dan memikirkan ayat-ayat
Allah.
Kisah Para Pemilik Kebun
Dalam
surat ini ada kandungan kisah tentang para pemilik kebun. Allah
menurunkan adzab kepada mereka, dalam rangka memberi mukaddimah ancaman
kepada para pencela dan pengejek Rasulullah saw. Jika mereka mengetahui
atau setidaknya merasakan penyesalan dan kepedihan serta keputusasaan
dalam kisah ini tentu mereka akan takut ditimpa dengan adzab yang lebih
pedih dari itu, adzab akhirat.
Siapakah para pemilik kebun yang dimaksud dalam ayat-ayat ini ().
Dikabarkan,
mereka telah membagi-bagi dan mengkaplingkan hasil kebun mereka yang
akan akan mereka tuai esoknya. Mereka memastikannya, bahkan telah
bersumpah. Hasilnya untuk keperluan ini dan untuk keperluan itu.. Mereka sama sekali tak menyisakan bagian untuk kaum dhu`afa dan fakir miskin. Mereka
juga sombong. Seolah merekalah yang memutuskan segalanya. Yang menjamin
kelangsungan hidup hari esok. Sehingga mereka melupakan Allah. Tiada
mensyukuri nikmat-Nya. Tak menyebutnya sama sekali. Bahkan mereka tak
mau untuk sekedar mengatakan: “Insya Allah”.
Adapun
penafsiran ayat ke 18 memang berbeda-beda. Jika konteksnya berhubungan
dengan kepercayaan pada Allah dan pemastian pembagian hasil kebun. Maka
lebih pas untuk diartikan dengan “tidak mengatakan Insya Allah”. Namun, jika konteksnya adalah amal kemanusiaan yang berhubungan dengan hak fakir miskin. Maka bisa diartikan,”Mereka tak memberikan bagian dari hasil tersebut serta menyisakannya untuk fakir miskin”.
Padahal para pendahulu mereka, kakek dan bapak mereka mendermakan
sebagian harta hasil dari perkebunan tersebut kepada fakir miskin.
Sementara mereka mempunyai karakter yang sebaliknya, bakhil. Sangat
memusuhi hati nurani kemanusiaan.
Penggambaran
kebakhilan mereka terlihat dari ayat 24. Dimulai ketika mereka bangun
dari tidur di waktu shubuh, mereka bergegas saling membangunkan, serta
saling memanggil dan mengingatkan. Kemudian bertolak ke kebun mereka
dengan diam-diam dan mengendap-endap dengan tujuan agar fakir miskin
yang ada di kampung mereka tak mengetahuinya. Kemudian dikhawatirkan
mereka meminta bagian dari hasil kebun tersebut.
Mereka
tak mengetahui keadaan sesungguhnya. Mereka tak menyadari apa yang
sebenarnya telah terjadi pada kebun-kebun mereka. Mereka tak mengetahui
apa yang Allah perbuat terhadap kebun mereka ketika mereka terlelap
dalam tidur ketamakan semalaman. Ketika mereka mendekat, melihat dengan
kedua mata mereka sendiri. Keadaan kebun-kebun mereka sungguh jauh di
luar dugaan dan penggambaran mereka. Kebun-kebun mereka menghitam pekat.
Sehitam hati mereka yang tetutupi hawa nafsu, cinta dunia dan
kebakhilan sehingga menghalangi rasa kemanusiaan mereka.
Lenyaplah
ribuan angan mereka. Hilanglah pembagian penghasilan yang mereka
rancang sebelumnya. Terbanglah bayangan-banyangan kesenangan dunia.
Apakah
mereka tak merasakan kesengsaraan serta penderitaan fakir miskin yang
tak mendapat uluran kasih sayang dan bantuan dari mereka? Mereka telah
menghalangi fakir miskin dari mendapatkan haknya dari harta mereka,
padahal mereka mampu dan sanggup melakukannya.
Kemudian,
ada seseorang yang masih mempunyai pemikiran baik diantara mereka
mengingatkan. Bukankah aku telah mengatakan, sebaiknya kalian bertasbih
kepada Tuhan kalian.
Peringatan,
ajakan bertasbih ini. Tentulah sangat baik. Akan tetapi mereka
mengucapkannya dengan bibir-bibir kering. Dengan keputusasaan. Dengan
tertutupnya hati. Merekapun bertasbih. Namun, tak mengetahui hakikat
makna dan kandungan tasbih tersebut. Hal ini terbukti dan terlihat dari
fenomena permusuhan di antara mereka setelah itu. Mereka saling mencela.
Saling menyalahkan di antara sesama mereka. Tiada menerima yang Allah
cobakan kepada mereka
Penyesalan.
Ribuan penyesalan. Bahkan tiada terhitung penyesalan yang mereka
keluhkan. Mereka mengakui kelemahan dan kezhaliman mereka. Namun,
penyesalan ini tidaklah sanggup mengembalikan kebun mereka kembali
menghijau seketika itu. Kembali menjanjikan hasil dunia yang menggiurkan
dan melenakan mereka.
Jika mereka benar-benar menyesalinya. Dan penyesalan seperti ini ketika masih ada kesempatan memperbaikinya. Tentul Allah akan menerimanya. Menerima taubat yang sungguh-sungguh dari hamba-hambaNya.
Namun,
bukan penyesalan mereka. Penyesalan orang-orang kafir, para pencela
Rasulullah. Penyesalan yang kelak baru mereka rasakan ketika adzab
akhirat melucuti tubuh dan perasaan mereka. Jika mereka mengetahui dan
menyelami kisah pemilik-pemilik kebun tersebut. Sungguh mereka akan
cepat-cepat bertaubat dan memperbaiki diri. Dan barang siapa yang tidak
mengetahuinya, ketahuilah bahwa adzab akhirat sangatlah pedih. Melebihi
pedihnya adzab dan cobaan dunia. Tak terbayangkan oleh siapapun yang ada
di dunia ini. Hanya Allah saja yang mengetahui kedahsyatannya.
Lihatlah
akhir hidup Abu Jahal, seorang penjahat kelas kakap yang terbunuh dalam
Perang Badar di tangan dua orang anak kecil, Muadz dan Muawidz (). Lihat pula al-Walid bin Mughiroh. Justru anaknya Khalid bin Walid menjadi panglima besar Islam juga saudara-saudaranya, membela dakwah Rasulullah. Maka yang demikian itu sangat menghinakan mereka.
Kabar Gembira
Dan sebaliknya Allah memberikan kabar gembira untuk orang-orang yang mau mengikuti risalah Rasulullah saw. ”Sesungguhnya
bagi orang-orang yang bertakwa (disediakan) syurga-syurga yang penuh
kenikmatan di sisi Tuhannya. Maka apakah patut kami menjadikan
orang-orang Islam itu sama dengan orang-orang yang berdosa (orang
kafir)?” (QS. 68: 34-35)
Tentu
saja Allah tak menyamakan kedua golongan yang sangat jauh perbedaannya.
Masing-masing telah Dia sediakan balasan yang setimpal sesuai dengan
amal dan perbuatannya. Masing-masing dari menusia telah diberi kebebasan
meilih jalan masing-masing. Hanya saja ia mesti mempertanggungjawabkan
pilihannya kelak. Maka jika demikian halnya. Orang-orang yang bertakwa
mengikuti jejak para Nabi Allah. Jejak yang jelas ujungnya, meski banyak
duri serta cobaan berada disepanjang jalan pilihan tersebut.
Tunggulah sampai datang hari yang dijanjikan itu. ”Pada hari betis disingkapkan dan mereka dipanggil untuk bersujud; maka mereka tidak kuasa”. (QS. 68: 42)
Pada waktu itu orang-orang yang sombong tersebut dipanggil satu persatu. Mereka diinstruksikan untuk bersujud di hadapan Allah. Mereka
pun tak kuasa melakukannya. Karena mereka tak pernah melakukannya di
dunia. Atau jika melakukannya, hanya karena mereka terjangkit split personality.
Hipokrit dan munafik, untuk meraup keuntungan dunia semata. Hari itu
keadaan sesungguhnya menjadi nyata. Pamrih sesungguhnya dari apa yang ia
lakukan menjadi jelas terlihat. Karena hati mereka tertutup oleh dunia
dan segala kesenangannya.
Sujud
merupakan suatu pekerjaan yang berat bagi hati yang tak khusyuk. Bagi
hati yang keras. Hati yang dipenuhi oleh gengsi kedudukan dan status
sosial. Sujud akan mudah dilakukan oleh hati yang lembut. Hati yang
tunduk, khusyuk dengan penuh pengakuan di depan kebesaran yang Maha
Hidup dan Mencipta kehidupan. Sehingga sujud merupakan wirid harian yang
menjadi obat kegundahan dan kegelisahan menghadapi berbagai
permasalahan dunia.
Hari
itu mereka benar-benar ingin melakukannya. Namun mereka tak sanggup
melakukannya. Sementara ketika mereka berada dalam kelapangan dan dalam
keadaan yang sejahtera, mereka menolak ketika diseru untuk bersujud.
Namun mereka cepat mengambil keputusan untuk menolak ajakan tersebut dan
memutuskan sekali lagi untuk tidak akan melakukannya. Maka orang-orang
yang berkelakuan demikian –kata Allah- serahkan saja segala urusannya
kepada-Nya. Hanya Allah yang mampu memperlakukan mereka sesuai perbuatan
yang mereka lakukan.
Wasiat Sakti
Tetaplah
bersabar. Demikian Allah mewasiatkan kepada Nabi-Nya yang mulia
Muhammad saw. Sebuah wasiat yang menjadi senjata pamungkas dalam
menghadapi kelakuan orang-orang yang memusuhi dakwahnya.
Sabar
dengan ketetapan Allah. Sabar untuk terus mendakwahkan kebenaran yang
telah diyakini sebagai jalan benar. Sebagai pilihan yang tepat. Dan akan
dipertanggungjawabkan. Serta janji Allah berupa balasan kemuliaan.
Allah
menceritakan kisah pendahulu Nabi Muhammad ketika menghadapi kaumnya.
Dikisahkan, Yunus bin Matta as diutus Allah ke daerah bernama Naynawa.
Beliau mengajak kaumnya untuk menyembah Allah. Akan tetapi kaumnya
membangkang dan bersikeras untuk tetap menjauhi ajakan Nabi Yunus as.
Mereka memilih jalan kekafiran sebagai respon negatif terhadap dakwah
Nabi Yunus. Yunus pun marah dan bermaksud meninggalkna kaumnya. Setelah
beliau mengancam dengan turunnya adzab Allah kepada mereka. Sepeninggal
Nabi Yunus dari kaumnya. Tanda-tanda ancaman siksa dari Allah terlihat
oleh mereka. Mereka
pun sadar dan meyakini kebenaran ajakan Nabi Yunus. Bertaubatlah
mereka. Keluarlah mereka berbondong-bondong ke sebuah tanah lapang di
padang pasir yang luas. Anak-anak mereka, Istri-istri mereka, yang tua
dan yang muda serta dengan binatang peliharaan mereka. Semuanya
bermunajat dengan khusyuk kepada Allah memohon ampunan dan agar adzab
tersebut tak diturunkan kepada mereka. Sedangkan Yunus, telah pergi jauh
meninggalkan kaumnya dalam keadaan marah. Allah memuat cerita Yunus lebih terperinci dalam surat Ash Shaffât dari ayat 139 – 148.
Kesalahan yang dilakukan Nabi Yunus as adalah meninggalkan kaumnya. Meninggalkan
tanggungjawabnya. Padahal kaumnya telah bertaubat dan hidup dalam
keadaan mengimani dakwah yang ia serukan selama ini. Hanya saja beliau
agak terburu-buru. Meninggalkan kaumnya dengan ancaman siksa Allah.
Namun, Allah mengampuni mereka setelah semua bermunajat dengan
sungguh-sungguh kepada-Nya.
Pelajaran
kesabaran lah yang dimaksudkan di sini. Untuk menghadapi tingkah laku
kaum yang tidak mengindahkan seruan dakwah. Bahkan melecehkannya. Hanya
bersabar. Sampai datang keputusan dari Allah.
Ketika
dalam perut ikan –menurut riwayat Auf al-A’raby sebagaimana dinukil
Ibnu Katsir dalam tafsir Al Anbiya’ ayat 87-88- Yunus mengira bahwa
dirinya telah mati. Kemudian ia menggerak-gerakkan kakinya. Kemudian
bersujud seraya membisikkan dengan lemah “Ya Allah aku menjadikan tempat ini sebagai tempat sujud yang belum pernah dicapai seorang pun”. Dan beliau pun bertasbih kepada Tuhannya.
Tasbih yang diucapkan dan dimunajatkan oleh Yunus adalah tasbih khusyuk dan penuhtadharru’.
Penuh ketenangan dan pengakuan akan kelemahan dan kezhaliman diri.
Sehingga rintihan lemah ini di dengar oleh para malaikat-Nya. Sehingga
Allah pun menitahkan pada ikan yang menelannya untuk memuntahkan kembali
Yunus. Yunus pun selamat dan kembali ke kaumnya setelah bertaubat.
Berbeda dengan tasbih para pemilik kebun ketika salah seorang terbaik mereka menyeru untuk bertasbih. Mereka
pun segera bertasbih. Namun, hanya menjadi hiasan bibir belaka.
Ketidakikhlasan mereka terlihat, ketika masih ada kedengkian diantara
mereka. Mereka saling mencaci sesamanya.
Tasbih sendiri mempunyai makna yang dalam, sehingga mempunyai pengaruh bila seseorang mengucapkannya dengan penuh penghayatan. “Maha Suci Engkau Wahai Allah, sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang zhalim”.
Bagian
pertama tasbih ini, mensucikan Allah dari segala kekurangan dan hal-hal
yang tak layak bagi Tuhan dengan segala kebesaran-Nya. Kemudian bagian
kedua menegaskan kelemahan diri dan kesalahan yang dilakukan dengan
mengakui kezhaliman yang telah diperbuat.
Dua
komponen ini merupakan bentuk penyesalan yang sempurna. Penyesalan yang
diikuti keinginan untuk memperbaiki diri. Dan untuk memperbaiki diri
tersebut kita memerlukan bantuan dari Allah. Minimalnya, bantuan
netralisir kesalahan. Dengan menurunkan ampunan-Nya kepada kita atas segala kesalahan yang telah kita lakukan.
Inilah
yang dilakukan kekasihnya dalam kegelapan lapis tiga. Dan sanggup
menerobos sampai kelangit berlapis tujuh. Didengar oleh semua penduduk
langit. Meski dengan suara yang sangat lemah dan pelan. Namun, terdengar
sangat jelas. Jelas, karena mengakui kemahasucian Allah. Dan Allah
memasukkan Yunus kedalam golongan hamba-hambaNya yang salih.
Ikhtitam: Berbahagialah yang Berani Mengambil Jalan Rasulullah
Ketika
Nabi Muhammad saw. menyampaikan ayat-ayat Allah, orang-orang kafir
mencibir dan melecehkannya. Bahkan, menganggap Muhammad telah
benar-benar gila. Karena mereka tak mau menggunakan hati nurani untuk
menerima ayat-ayat Allah.
Ketahuilah
bahwa Al-Qur’an tak lain hanya merupakan peringatan bagi semua umat
yang ada. Dan tugas Nabi Muhammad, juga tugas para penerusnya, para da’i
hanya sekedar mengingatkan kaumnya. Mengingatkan umat yang diserunya
untuk mengikuti dan memahami ayat-ayat tersebut. Hanya menyampaikan
peringatan ini.
Jika
mereka mencibirnya. Maka bersabarlah. Ketahuilah bahwa para pendahulu
kita juga mendapat perlakuan yang tak jauh beda dari keumnya ketika
mereka menyampaikan ayat-ayat yang mereka bawa dari Tuhan mereka.
Hanya
menyampaikan dan telah kita sampaikan. Maka Allahlah yang menentukan.
Memberi hidayah kepada mereka atau membiarkan mereka dalam kesesatan
karena mereka telah memilihnya demikian. WalLâhu a’lam.
—————————————————————————-
Disampaikan dalam Pengajian Shubuh Tadabbur al-Qur’an
Ainul Yaqin, Kalibata Selatan Jaksel
Selasa 10 Pebruari 2009